Sabtu, 18 April 2015

rukun dan syarat mawaris



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Mawaris merupakan salah satu peranan penting dalam kehidupan manusia, karena mawaris termasuk bagian syariat yang di ajarkan didalam ajaran Islam, yaitu memindahkan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Tata cara dan proses pembagian mawaris dalam Islam telah diatur dan ditentukan didalam al-Qur’an dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an telah menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorangpun.
Hukum kiewarisan dalam Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimanapun berada di dunia ini. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan sangat penting bahkan menetukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat.
B.  Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Apa saja syarat-syarat mawaris?
2.    Apa saja rukun mawaris?

C.  Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1.    Mengetahui apa saja syart-syarat mawaris.
2.    Mengetahui rukun mawaris.






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Syarat Syarat Mawaris
Dalam syari’at Islam ada beberapa syarat supaya pewarisan dinyatakan ada, sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima warisan.
Adapun syarat-syarat dalam mawaris ialah sebagai berikut:[1]
1.    Meninggal dunianya pewaris
Orang yang mewariskan (muwarrits) benar telah meninggal dunia dan dapat dibuktikan secara hukum bahwa ia telah meninggal. Meninggal dunianya pewaris ini bisa secara hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim), dan atau meninggal dunia secara taqdiri (dugaan). Artinya apabila tidak ada kematian maka tidak ada pewarisan. Pemberian atau pembagian harta kepada keluarga pada masa hidupnya tidak termasuk kedalam kategori waris mewarisi, tetapi hal ini disebut dengan pemberian atau hibah.
2.    Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia, dan merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewarisnya. Hidupnya ahli waris dapat didefinisikan sebagai berikut:
1.      Anak (embrio) yang hidup dalam kandungan ibunya pada saat orang yang mewariskan meninggal dunia.
2.      Orang yang menghilang dan tidak diketahui tentang kematiannya, dalam hal ini perlu adanya putusan hakim yang mengatakan bahwa ia masih hidup, apabila dalam waktu yang ditentukan ia tidak juga kembali, maka bagian warisannya dibagikan kepada ahli waris.
Apabila dua orang yang memiliki hubungan nasab meninggal bersamaan waktunya, atau tidak diketahui siapa yang lebih dulu meninggal dunia, maka keduanya tidak saling mewarisi, karena ahli waris harus hidup ketika orang yang mewariskan itu meninggal dunia.
3.      Ada hubungan pewarisan
Ada beberapa jenis hubungan yang bisa mendapatkan harta warisan dari sipewaris, antara lain sebagai berikut:
1.      Hubungan nasab (keturunan, kekerabatan) baik pertalian garis lurus keatas (Ushul al-Mayyit), seperti ayah, kakek, dan lainnya, atau pertalian lurus kebawah (Furu’al-Mayyit), seperti anak, cucu, atau pertalian mendatar/menyamping (al-Hawasyi), seperti saudara, paman, dan anak turunannya sebagaimana firman Allah:
لِّلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْواَلِدَنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْكَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا
Artinya:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.( Qs. An-Nisa’ 7)[2]
Yang dimaksud hubungan darah disini ialah hubungan darah yang disebabkan pernikahan yang sah. Apabila hubungan darahnya atau proses kelahirannya disebabkan bukan pernikahan yang sah, maka tidak termasuk orang yang mewarisi seperti bayi tabung. Anak bayi tabung ini hanyalah memiliki ibu yaitu orang yang melahirkan saja dan tidak memiliki ayah. Sama halnya dengan anak yang dilahirkan karena perzinahan tidak mempunyai hubungan darah dengan orang laki-laki yang melakukan zina, sehingga mereka tidak bisa saling mewarisi. Ia hanya mewarisi kepada wanita yang melahirkannya sebagai ibunya.

2.      Hubungan pernikahan
Yaitu orang yang dapat mewarisi disebabkan menjadi suami istri atau istri dari orang yang mewariskan. Sebagaimana firman Allah:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجَكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ....
 وَلَهُنَّ الرَّبِعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ....
Artinya:
Dan bagimu (suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak....
Dan para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.... (Qs An-Nisa’ 12)[3]
Yang dimaksud perkawinan disini ialah perkawinan yang dilakukan secara sah menurut syari’at Islam, dimulai sejak akad nikah sampai putusnya ikatan perkawinan (telah habis masa iddah).
Hubungan suami istri ini bisa saling mewarisi apabila memenuhi dua syarat:
Ø Perkawinan mereka sah menurut syari’at Islam yakni dengan akad nikah yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Ø Masih berlangsung hubungan perkawinan, yaitu perkawinan mereka masih berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau istri, tidak dalam keadaan bercerai. Kecualai pada masa iddah talaq raj’i jika salah satu istri atau suami meninggal maka masih mendapatkan warisan.
3.      Hubungan perbudakan
Yaitu seseorang berhak mendapatkan warisan dari bekas budak yang telah dimerdekakannya.
4.      Karena hubungan agama Islam
Yaitu apabila seorang meninggal tanpa ada ahli warisnya, maka hartanya akan diserahkan ke baitul mal (bendahara negara Islam) untuk dimanfaatkan bagi kemaslahatan umat Islam.

B.  Rukun Mawaris

Didalam hukum kewarisan terdapat beberapa rukun yang bisa menyebabkan terjadinya mawaris. sebagaimana yang ditulis oleh Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut:[4]
1.    Ahli waris
Adalah orang yang mendapatkan warisan dari pewaris, baik karena hubungan kekarabatan maupun karena perkawinan.[5]
2.    Pewaris
Yaitu simati baik mati haqiqi maupun hukum, seperti yang telah hilang, yang oleh hakim dinyatakan telah meninggal dunia.
3.    Warisan
Dinamakan juga dengan tirkah atau mirats atau mauruts yaitu harta atau hak yang berpindah dari sipewaris kepada ahli waris. Tiga istilah di atas (tirkah atau mirats atau mauruts) di kalangan faradhiyun lebih sering menggunakan istilah tirkah. Tirkah  ialah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh ahli waris. Segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan secara luas agar dapat mencakup kepada beberapa hal sebagai berikut:[6]
1.      Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan.
Artinya benda-benda yang tetap, bergerak, hutang-piutang simati, yang menjadi tanggungan orang lain, denda wajib, yang dibayarkan kepadanya oleh sipembunuh yang melakukan pembunuhan, uang pengganti qisas lantaran pembunuhan yang diampuni atau yang melakukan pembunuhan adalah ayahnya sendiri.



2.      Hak-hak kebendaan.
Seperti hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irrigasi pertanian dan perkebunan dan lain sebagainya.
3.      Hak-hak yang bukan kebendaan.
Seperti hak khiyar, hak syuf’ah[7] hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan lain sebagainya.
4.      Benda-benda yang bersangkutan kepada orang lain.
Seperti benda-benda yang digadaikian oleh simati, barang-barang yang sudah dibeli oleh simati ketika masih hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangnya belum diterima, barang-barang yang dijadikan maskawin istrinya yang belum diserahkan sampai ia mati dan lain sebagainya. Hal ini disebut dengan hak ‘ainiyah atau dain ‘aini atau duyunul mumtazah.
















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Adapun syarat-syarat dalam mawaris ialah sebagai berikut:
1.    Meninggal dunianya pewaris
2.    Hidupnya ahli waris
3.    Ada hubungan pewarisan
Adapun rukun dari mawaris ialah sebagai berikut:
1.    Ahli waris
2.    Pewaris
3.    Warisan





















DAFTAR PUSTAKA

Budiono Rachmad. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesai. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.1999

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV Jumanatul Ali, 2005

Nasution Amin Husein. Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada.2012

Rahman Fatchur. Ilmu Waris. Bandung: PT al-Ma’arif.1994

Usman Suparman dan Somawinata Yusuf. Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002


[1] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Gravindo Persada,2012), hlm: 71-72
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Jumanatul Ali, 2005), hlm. 78
[3] Departemen Agama RI, Al-qur’an..., hlm. 79
[4] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris Hukum Kewarisan Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama,2002), hlm: 23
[5] A. Rachmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm: 9
[6] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al-Ma’arif,1994), hlm:36-37
[7] Hak syuf’ah ialah hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota serikat atau tetangga atas tanah, pekarangan atau lain sebagainya yang dijual oleh anggota serikat yang lain atau tetangganya.

1 komentar: