BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Seiring dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, maka perlu bagi kita untuk mempelajari
lebih mendalam lagi ilmu filsafat Islam sebagai landasan bagi kita untuk lebih
berfikir realistis dengan meniru gaya hidup sekaligus pemikiran-pemikiran para
filsuf muslim yang sudah dikenal dalam sejarah. Untuk itu penulis mencoba
memaparkan dari biografi dan pemikiran Ibn Bajjah sebagai tokoh filsafat Islam
yang patut dijadikan pandangan berfikir bagi kita semua selaku generasi penerus
ajaran Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
riwayat hidup Ibn Bajjah?
2.
Apa
saja karya-karya Ibn Bajjah?
3.
Apa
saja karya-karya filsafat Ibn Bajjah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Ibn Bajjah.
Ibn Bajjah
memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi
al-Andalusi al-Samqusti Ibn Bajjah.[1] Ia
di barat dikenal dengan sebutan Avenpoce. Lahir di Saragosa Spanyol pada
abad ke-11 Masehi/ke-5 Hijriah. Tahun kelahirannya tidak ada catatan yang
pasti, begitu juga sejak kecil dan masa mudanya. Sedangkan wafatnya pada tahun
1138 Masehi/533 Hijriah. Ibn Bajjah merupakan filosof muslim pertama yang
memisahkan antara agama dan filsafat. Meskipun begitu, Ibn Bajjah tidak menolak
agama. Sebaliknya ia justru menempatkan agama sebagai sesuatu yang dapat
dipahami secara rasional.[2]
Riwayat
hidupnya yang dicatat dalam sejarah bahwa ia hidup di Sevilla, Granada dan Fas.
Dalam umur yang masih muda ia telah banyak menulis beberapa risalah tentang
logika. Menurut suatu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter
yang merasa iri terhadap kecerdasannya, di samping juga terhadap ilmu dan
ketenarannya.[3]
Ibn Bajjah
merupakan seorang pemikir kreatif dan ikonoklastik, seorang penyulut
“pemberontakan Andalusia”, yang menjalankan observatorium miliknya sendiri dan
memberikan konstribusi orisinal pada teori fisika, dengan uraiannya tentang
gerak proyektil (gerak peluru). Ia menyamakan kecepatan sebuah proyektil dengan
selisih antara “gaya dorong” dan gaya hambat (resistansi) yang dialaminya yang
di dalamnya Aristoteles menetapkan kecepatan berbanding lurus dengan gaya
dorong dan berbanding terbalik dengan “gaya hambat”. Dibela oleh Aquinas dan
Scotus, pandangan itu di tolak oleh Ibn Rusyd (Averroes) dan Albertus Magnus.
Akan tetapi, Galileo menggunakannya dalam kritik awalnya atas pandangan
Aristotelian. Sebagai seorang Neoplatonis sejati Ibn Bajjah, memandang
gravitasi sebagai gaya atau kekuatan spiritual. “Dengan demikian, ia
menyingkirkan batas penghalang antara langit dan bumi”, seperti dikemukakan
oleh Nasr, bukan dengan pembumian alam, seperti yang dilakukan oleh Galileo,
tetapi dengan mencari pengaruh-pengaruh spiritual dalam setiap peristiwa alam,
sebuah pendekatan yang disandarkan pada Ibn Thufail, Maimonides, dan lain-lainnya.
Ibn Bajjah
tumbuh di Saragosa. Ia adalah seorang dokter, musisi, penulis lagu dan puisi
popular dengan bakat lirik yang mengagumkan. Pada tahun 504 Hijriah/1110 Masehi,
Saragosa jatuh ke tangan Al-Murabithun, revivalis muslim dari Amerika utara.
Ibn Bajjah tetap tinggal di kota itu dan masih dalam usia dua puluh tahunan,
tampil sebagai wazir Gubernur Barber, Ibn Tifalwith, ipar laki-laki Pangeran
Al-Murabithun ‘Ali. Diutus menjadi duta kepada mantan penguasa yang masih
merdeka. Ia malahan dipenjara diduga karena ia dianggap menyerahkan nasibnya
kepada para penakluk. Dibebaskan setelah beberapa bulan, ia melakukan
perjalanan ke Valencia, tempat ia mendapat informasi tentang kematian Ibn
Tifalwith pada 510 Hijriah/1117 Masehi dan takluknya Saragosa pada 512 Hijriah/1118
Masehi oleh Alphonso dari Aragon. Selama melakukan perjalanan ke Seville, ia
menampilkan diri sebagai seorang dokter, kemudian pindah ke Granada, tempat ia
menjadi terkenal berkat ilmunya. Saat ia melakukan perjalanan melalui Jativa,
ia ditahan lagi, kini oleh penguasa Al-Murabithun, Ibrahim ibn Yusuf ibn
Tasyfin, diduga karena bid’ah. Ia baru dibebaskan berkat campur tangan qadhi
setempat, ayah atau kakek filosof Ibn Rusyd, yang tahu betul apa yang
dimaksud Ibn Bajjah dengan upayanya menarik garis demarkasi yang jelas dan
tegas antara klaim-klaim keimanan dan tujuan-tujuan filosof.[4]
Di Fas Ibn
Bajjah memasuki lingkungan Istana Gubernur Abu Bakr ibn Tasyfin dan kembali
menjadi wazir, kali ini sekitar 20 tahun, bolak balik dari kota Granada, Seville,
dan Oran. Sahabat dan muridnya, Abu Al-Hasan ibn Al-Imam, juga menjadi wazir
dan dipuji secara layak dalam salah satu karya Ibn Bajjah. Sesungguhnya,
tulisan-tulisan Ibn Bajjah menunjukkan tanggapan yang tajam dan hidup terhadap
problematika filosof dari Plato, Aristoteles, dan Galen. Mengakui gurunya
sebagai filosof kreatif Barat Islam pertama, Ibn Al-Imam peduli untuk menyalin
tulisan-tulisan Ibn Bajjah pada saat ia menjabat sebagai kepala kantor keuangan
Seville, dengan menggunakan otograf gurunya dan di bawah pengawasannya, hasil
salinannya pada gilirannya disalin ulang dalam naskah yang sekarang tersimpan
di Oxford.[5]
Ibn Khaldun,
ahli teori sosial besar Arab, menyebut Al-Farabi dan Ibn Sina sebagai
filosof-filosof Islam di Timur, Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd di Barat. Maimonides
juga sangat mengagumi Ibn Bajjah, yang mengutip komentarnya atas physics Aristoteles,
dengan mengikuti jejaknya dalam astronomi, epistimologi, dan metafisika jiwa.
Dalam surat terkenalnya kepada penerjemah bahasa Ibrani dari The Guide of
The Perplexed yang berbahasa Arab, ia menyebut Ibn Bajjah sebagai seorang
filosof besar dan menaruh semua tulisannya pada peringkat pertama. Akan tetapi
Ibn Thufail mengeluhkan karya-karya Ibn Bajjah tak tertata dan tak lengkap.
Seraya menduga, karena tidak pernah bertemu secara pribadi, bahwa keasyikan
duniawi telah menyisakan sedikit waktu Ibn Bajjah untuk filsafat. Ibn Thufail
juga mengeluhkan kritik Ibn Bajjah atas mistisisme. Meskipun demikian
karya-karyanya merentang dari The Art of Healing hingga
komentar-komentar atas Aristoteles, hingga karya tentang tumbuhan, dan bahkan
karya mengenai berburu. Sekitar tiga puluh karya pendek banyak di antaranya
yang belum selesai masih terpelihara dalam bentuk manuskrip. Karya-karya
tersebut antara lain berupa komentar atas logika Al-Farabi, dan esai mengenai
tujuan hidup manusia, akal aktif, Tadbir Al-Mutawahhid, dan pidato
tertulis Risalah Al-Wada yang ditujukan kepada Ibn Al-Imam. Ibn Bajjah
memberikan sumbangan berupa paling tidak tiga tema filosofis pada karya-karya
para penerusnya Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan Maimonides. Teorinya berupa ittishal,
kontak intelektual dengan tuhan. Pendekatannya yang tajam kepada doktrin
monopsikisme, dan cita-citanya tentang penguasaan diri.[6]
B.
Karya-karya
Ibn Bajjah
Di antara karya-karya Ibn Bajjah yang terpenting adalah:[7]
1.
Risalah
Al-Wada’,berisi tentang penggerak pertama
bagi wujud manusia, alam, serta beberapa uraian mengenai kedokteran. Buku ini
tersimpan di perpustakaan Bodleian.
2.
Kitab
An-Nafs, berisi keterangan mengenai kegemaran
Ibn Bajjah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan persatuan jiwa manusia
dengan tuhan, sebagai aktivitas manusia yang tertinggi dan kebahagiaan yang
tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia.
3.
Risalah
Al-Ittishal Al-Aql bi Al-Insan (perhubungan
akal dengan manusia), berisi uraian tentang pertemuan manusia dengan akal fa’al.
4.
Komentar
terhadap logika Al-Farabi, sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan
Escurial (Spanyol).
5.
Beberapa
ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, Al-Farabi,
Porphyrius dan sebagainya. Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada
dua puluh empat risalah manuskrip karangan Ibn Bajjah. Diantaranya Tardiyyah.
6.
Kitab
Al-Nabt, Al-Andalus.
7.
Risalah
Al-Ghayah Al-Insaniyyah.
9.
Beberapa
risalah tentang falak dan ketabiban.
11.
Majallah
Al-Majma’ Al-‘Ilmu Al-‘Arabi, Risalah Al-Ghayah Al-Insaniyah berjudul Ibnu Bajjah On Human End, dengan terjemahan bahasa
Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan.
Sebagai gambaran karya Ibn Bajjah, penulis sajikan intisari kitab
induk karya Ibn Bajjah seperti Tadbir Al-Mutawahhid dan Risalah
Itthisal Al-Aql bi Al-Insan. Tadbirul Mutawahhid adalah sebuah buku
tentang moral dan politik. Yang disusun menurut buku Al-Madinatul Fadhilah karya
al-Farabi. Yang dimaksud dengan mutawahhid ialah manusia yang hidup
menyendiri, hidup di dalam menara gading, merenungkan berbagai ilmu teoretis. Risalah
Ittishal Ibn Bajjah membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu:[10]
Ø Kaum awam (Al-Jumhur).
Ø Kaum khawasa atau kaum cendekiawan (An-Nudzdzar).
Ø Kaum yang bahagia.
C.
Karya-karya
Filsafat Ibn Bajjah.
Karya-karya
filsafat Ibn Bajjah dapat di uraikan sebagai berikut:
1.
Filsafat
ilmu pengetahuan (epistemologi)
Pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah
ilham, Ibn Bajjah menolak pendapat tersebut. Bagi Ibn Bajjah seseorang dapat
mencapai puncak makrifat (meleburkan diri dengan akal fa’al) jika ia
telah dapat melepaskan diri dari keburukan-keburukan pikiran untuk memperoleh
pengetahuan dan ilmu sebanyak mungkin dan dapat menenangkan pikirannya atas
pikiran hewani.
Kemampuan menyendiri dan mempergunakan kekuatan akalnya akan dapat
memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih besar. Pemikiran insani dapat
mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus pemikiran inilah yang membedakan manusia
dengan hewan. Ibn Bajjah juga menjelaskan bahwa masyarakat umum bisa
mengalahkan perseorangan. Masyarakat dapat melumpuhkan daya kemampuan berpikir perseorangan dan menghalanginya
untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini disebabkan masyarakat itu berlumuran
dengan perbuatan-perbuatan rendah dan keinginan hawa nafsu yang kuat. Jadi,
dengan kekuatan dirinya manusia bisa sampai kepada maratabat yang tinggi,
melalui pikiran dan perbuatan. Untuk itu seseorang harus mengasingkan pemikiran
dan jiwanya dari masyarakat, serta membebaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi.[11]
Pemikiran tentang epistimologi ini disebutkan Ibn Bajjah dalam
bukunya, Tadbir Al-Mutawahhid yang berisi delapan pasal, dapat disarikan
sebagai berikut:
Ø Pasal pertama, mengenai penjelasan tadbir yang dipakai
terhadap setiap kumpulan peraturan yang berkaitan dengan perbuatan menuju suatu
tujuan.
Ø Pasal kedua, berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang
bersifat kemanusiaan.
Ø Pasal ketiga, berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri,
yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran.
Ø Pasal keempat, pembagian perbuatan manusia kepada tiga macam
(jasmani, rohaniah perseorangan, dan rohaniah umum).
Ø Pasal kelima, berisi tentang seorang mutawahhid (penyendiri)
harus memilih tingkatan perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai pada
tujuan akhir.
Ø Pasal keenam dan tujuh, memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk
rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya, serta tujuan-tujuan
yang ingin dicapai.
Ø Pasal kedelapan, menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
Pengetahuan
yang didapatkan, akan membangun kepribadian seseorang. Untuk itu ada empat
sebab (bentuk, materi, agen dan tujuan), yang harus diketahui oleh manusia
untuk memahami obyek-obyek pengetahuan, sehingga mencapai keimanan terhadap
Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan akhirat.
Dengan
penjelasan tersebut, tampaknya metode yang diajukan Ibn Bajjah adalah perpaduan
perasaan dan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta, dia menggunakan metode rasional-empiris,
tetapi mengenai kebenaran akan keberadaan Tuhan dia mempergunakan filsafat.
Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh manusia apabila manusia menyendiri (uzlah).
Menurut Ibn
Bajjah, cara manusia mendekati Tuhan tidak harus melalui amalan tasawuf,
seperti yang dikemukakan Imam al-Ghazali, melainkan bisa juga dilakukan melalui
amalan berpikir. Dengan ilmu dan amalan berpikir, segala keutamaan dan
perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin dan menguasai jiwa. Usaha ini
dapat menghilangkan sifat hewaniah yang bersarang dalam hati dan diri seorang
manusia.[12]
Pikiran Ibn
Bajjah tersebut berlawanan sekali dengan pemikiran al-Ghazali yang menetapkan
bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua pengetahuan
manusia sia-sia belaka karena tidak bisa menyampaikan pada suatu kebenaran, dan
cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar ialah beribadah
(tasawuf).[13]
2.
Metafisika
Menurut Ibn Bajjah bahwa segala yang maujud terbagi dua (bergerak
dan tidak bergerak). Yang bergerak itu adalah materi yang sifatnya terbatas.
Dia bergerak dengan gerakan yang bersifat azali. Gerakan ini tidak mungkin dari
zatnya sendiri, karena dia terbatas. Tetapi sebab gerakan berasal dari kekuatan
yang tidak terbatas atau wujud, yaitu akal. Tuhan menganugerahkan pada manusia
rahmat dan kapasitas, melalui hal itu dapat diketahui perbedaan antara manusia.
Tetapi, keduanya ada yang bawaan sejak lahir, dan tidak perlu diupayakan. Di
samping itu, ada rahmat dan kapasitas yang harus diusahakan sesuai dengan
kehendak Tuhan, di bawah bimbingan para nabi. Karena itu manusia harus
menyambut seruan nabi dan melaksanakan apa yang di perintahkannya. Dengan
begitu, seseorang akan dapat melihat lewat wawasan hatinya sifat setiap
makhluk, asal mulanya dan ketentuan akhirnya. Dengan begitu pula, ia dapat
mengetahui bahwa Tuhan merupakan suatu kemaujudan, mesti satu, tidak bersekutu,
dan pencipta segalanya. Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibn Bajjah
menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu:
Ø Membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan memuliakan-Nya.
Ø Membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan
hati.
Ø Menghindari segala sesuatu yang membuat kita lalai mengingat Tuhan,
atau membuat hati berpaling dari-Nya. Tiga hal ini harus dilakukan terus menerus
setiap hari.[14]
3.
Moral
atau etika
Bagi Ibn Bajjah perbuatan itu dilihat dari motifnya ada dua macam
perbuatan, yaitu:
Ø Perbuatan yang timbul dari naluri hewani.
Ø Perbuatan yang timbul dari naluri manusiawi (dari pemikiran yang
luas, kemauan yang bersih dan tinggi).
Manusia yang ingin menundukkan perbuatan hewani pada dirinya, ia
harus melalui dengan melaksanakan perbuatan manusiawi. Dalam keadaan yang
demikianlah seseorang dapat dikatakan menjadi manusia yang tidak ada
kekurangannya.[15]
Tujuan hidup di dunia ini, menurut Ibn Bajjah adalah untuk
memperoleh kebahagiaan. Untuk itu, diperlukan usaha yang bersumber pada kemauan
bebas dan pertimbangan akal. Perbuatan manusia adakalanya didorong oleh naluri
yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Selain itu, manusia
memiliki kelebihan dengan adanya naluri insani yang tidak terdapat pada hewan.
Dengan naluri ini, manusia dapat melakukan aktivitas berdasarkan pertimbangan
akal, bebas dari rangsangan naluri hewani. Perbuatan hewani adalah perbuatan
yang didasarkan kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik semata-mata dan
segala yang berhubungan dengan itu. [16]
Keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang
menjadi sumber pengetahuannya. Semua perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan
atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah. Pada dasarnya jiwa
hewani itu tunduk kepada akal, kecuali pada manusia yang menyeleweng dari
kemanusiaannya, sehingga kelakuannya sudah menyerupai binatang. Untuk menundukkan segi hewani pada dirinya guna
mencapai tujuan yang lebih tinggi, ia harus memulai dengan melaksanakan
segi-segi kemanusiaannya.
Jika karakteristik utama manusia dan tindakannya yang patut adalah
akal budi, maka jelaslah bahwa manusia merupakan salah satu bentuk intelektual
atau spiritual yang merupakan bagian tertinggi dari segala besar wujud. Oleh
karena itu, Ibn Bajjah kemudian menentukan posisi manusia sepanjang skala
bentuk-bentuk spiritual dalam hierarki universal dari wujud yang telah
dipopulerkan oleh kaum Neo-Platonis Muslim. Dari bentuk-bentuk itu
memperkenalkan empat macam, yaitu:
Ø Bentuk-bentuk benda samawi.
Ø Intelek aktif dan perolehan.
Ø Bentuk-bentuk akali yang terlepas dari materi.
Ø Bentuk-bentuk atau pengertian-pengertian yang tersimpan dalam
daya-daya batin jiwa.
4.
Politik.
Seorang mutawahhid
(penyendiri) harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi,
hendaklah seseorang mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu,
tidak terseret kedalam arus perbuatan rendah masyarakat. Jadi, penyendiri dalam
konsep Ibn Bajjah, lebih ditekankan pada sikap hidup dalam masyarakat, tidak
pada tempat tinggal, dan karenanya ia juga berarti individu dan masyarakat.
Dalam pengertian ini, mutawahhid selalu berada di tengah masyarakat. Ibn
Bajjah menyadari bahwa warga yang memiliki sikap dan bertindak mulia, tidak banyak jumlahnya dalam
masyarakat. Ia mengibaratkannya sebagai tumbuhan kecil yang hidup di antara pepohonan
besar yang beraneka macam, sebagai perantau atau musafir yang memiliki watak
budi dan tingkah laku yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat
yang mengitarinya. Mereka mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[17]
Ø Selalu menjaga kesehatan.
Ø Selalu makan apa yang diperlukan oleh tubuh.
Ø Sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup yang menyangkut sandang,
pangan dan tempat tinggal, karena kebutuhan yang demikian bukan tujuan yang
utama bagi kehidupannya.
Ø Bergaul dengan orang-orang yang berilmu dan menjauhi orang-orang
yang mementingkan kehidupan duniawi.
Ø Mengutamakan ilmu-ilmu teoritis dan meninggalkan ilmu-ilmu praktis
karena kurang diperlukan dalam tujuan hidup.
Ø Melakukan amal baik atas kemauan sendiri menurut pertimbangan akal.
Ø Menjauhkan diri dari kehidupan zuhud.
5.
Teori
Ittishal
Ibn Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata-mata
melalui panca indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu
yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (aphodeictic)
tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (akal fa’al)
intelegensi yang mengatur.[18]
Akal manusia tidak bisa direduksi menjadi jasmani atau suatu fungsi indrawi
belaka. Dari sini Ibn Bajjah terbukti memandangnya suatu langkah mudah kearah
akal aktif hipostatik, sebagai sumber dan pendorong rasionalitas manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori itthisal Ibn
Bajjah, yaitu tentang hubungan manusia dengan akal aktif. Tujuan teori ini
dalah bagaimana cara mencapai, mengenal, dan mengetahui Tuhan, yaitu dengan cara
mengetahui perbuatan-perbuatan Tuhan , memahami sesuatu melalui gagasan-gagasan
universalnya. Sebab setiap perbuatan ada tujuannya, baik perbuatan manusia
maupun Tuhan, baik bersifat jasmani atau rohani.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibn Bajjah
memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi
al-Andalusi al-Samqusti Ibn Bajjah. Ibn Bajjah tumbuh di Saragosa. Ia adalah
seorang dokter, musisi, penulis lagu dan puisi popular dengan “bakat lirik yang
mengagumkan”. Ibn Bajjah memiliki beberapa karya antara lain:
1.
Risalah
al-Wada’.
2.
Kitab
al-Nafs.
3.
Risalah
al-Ittashal al-Aql bi al-Insan (perhubungan
akal dengan manusia).
4.
tardiyyah.
5.
Kitab
al-Nabt, al-Andalus, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bi al-Insan.
6.
Risalah
al-Ghayah al-Insaniyyah.
7.
Risalah
Tadbiirul Mutawahhid (Uzlah).
8.
Beberapa
risalah tentang falak dan ketabiban.
9.
Tardiyyah
sebuah puisi yang ada di The Berlin Library.
10.
Majallah
al-Majma’al-‘Ilmu al-‘Arabi, risalah al-Ghayah al-Insaniyah berjudul Ibnu Bajjah On Human End, dengan terjemahan bahasa
Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan.
DAFTAR PUSTAKA
Dahri Tiam, Sunardji, Berkenalan
Dengan Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2001.
Murtiningsih, Wahyu, Biografi
Para Ilmuan Muslim, Yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2009.
Nashr Sayyed, Hossein, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Tim Penerjemah Mizan (terj,), Routledge, London dan
New York, 1996.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat
Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005.
Supriyadi, Dedi, Pengantar
Filsafat Islam (Konsep Filsuf dan Ajarannya), Bandung, Pustaka Setia, 2009.
[1]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama,
2005), h. 93
[2]
Wahyu Murtiningsih, Biografi Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta, Pustaka
Insan Madani, 2009), h. 174
[3]
Sunardji Dahri Tiam, Berkenalan Dengan Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 2001), h. 121-122
[4] Sayyed
Hossein Nashr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tim Penerjemah Mizan
(terj,) 1996, h. 367
[5] Ibid.,
h. 367
[6]
Ibid., h. 369
[7]
Ibid., h. 94
[8]
Ibid., h. 122
[9]
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep Filsuf dan Ajarannya), (Bandung,
Pustaka Setia, 2009), h. 200
[10]
Ibid., h. 201
[11]
Ibid., h. 95
[12]
Ibid., h. 175
[13]
Ibid., h. 202
[14]
Ibid., h. 98
[15]
Ibid., h. 123
[16]
Ibid., h. 99
[17]
Ibid., h. 102
[18]
Ibid., h. 369
Tidak ada komentar:
Posting Komentar