Sabtu, 18 April 2015

Ibn Bajjah



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, maka perlu bagi kita untuk mempelajari lebih mendalam lagi ilmu filsafat Islam sebagai landasan bagi kita untuk lebih berfikir realistis dengan meniru gaya hidup sekaligus pemikiran-pemikiran para filsuf muslim yang sudah dikenal dalam sejarah. Untuk itu penulis mencoba memaparkan dari biografi dan pemikiran Ibn Bajjah sebagai tokoh filsafat Islam yang patut dijadikan pandangan berfikir bagi kita semua selaku generasi penerus ajaran Islam.
B.  Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana riwayat hidup Ibn Bajjah?
2.    Apa saja karya-karya Ibn Bajjah?
3.    Apa saja karya-karya filsafat Ibn Bajjah?










BAB II
PEMBAHASAN
A.  Riwayat Hidup Ibn Bajjah.
Ibn Bajjah memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti Ibn Bajjah.[1] Ia di barat dikenal dengan sebutan Avenpoce. Lahir di Saragosa Spanyol pada abad ke-11 Masehi/ke-5 Hijriah. Tahun kelahirannya tidak ada catatan yang pasti, begitu juga sejak kecil dan masa mudanya. Sedangkan wafatnya pada tahun 1138 Masehi/533 Hijriah. Ibn Bajjah merupakan filosof muslim pertama yang memisahkan antara agama dan filsafat. Meskipun begitu, Ibn Bajjah tidak menolak agama. Sebaliknya ia justru menempatkan agama sebagai sesuatu yang dapat dipahami secara rasional.[2]
Riwayat hidupnya yang dicatat dalam sejarah bahwa ia hidup di Sevilla, Granada dan Fas. Dalam umur yang masih muda ia telah banyak menulis beberapa risalah tentang logika. Menurut suatu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter yang merasa iri terhadap kecerdasannya, di samping juga terhadap ilmu dan ketenarannya.[3]
Ibn Bajjah merupakan seorang pemikir kreatif dan ikonoklastik, seorang penyulut “pemberontakan Andalusia”, yang menjalankan observatorium miliknya sendiri dan memberikan konstribusi orisinal pada teori fisika, dengan uraiannya tentang gerak proyektil (gerak peluru). Ia menyamakan kecepatan sebuah proyektil dengan selisih antara “gaya dorong” dan gaya hambat (resistansi) yang dialaminya yang di dalamnya Aristoteles menetapkan kecepatan berbanding lurus dengan gaya dorong dan berbanding terbalik dengan “gaya hambat”. Dibela oleh Aquinas dan Scotus, pandangan itu di tolak oleh Ibn Rusyd (Averroes) dan Albertus Magnus. Akan tetapi, Galileo menggunakannya dalam kritik awalnya atas pandangan Aristotelian. Sebagai seorang Neoplatonis sejati Ibn Bajjah, memandang gravitasi sebagai gaya atau kekuatan spiritual. “Dengan demikian, ia menyingkirkan batas penghalang antara langit dan bumi”, seperti dikemukakan oleh Nasr, bukan dengan pembumian alam, seperti yang dilakukan oleh Galileo, tetapi dengan mencari pengaruh-pengaruh spiritual dalam setiap peristiwa alam, sebuah pendekatan yang disandarkan pada Ibn Thufail, Maimonides, dan lain-lainnya.
Ibn Bajjah tumbuh di Saragosa. Ia adalah seorang dokter, musisi, penulis lagu dan puisi popular dengan bakat lirik yang mengagumkan. Pada tahun 504 Hijriah/1110 Masehi, Saragosa jatuh ke tangan Al-Murabithun, revivalis muslim dari Amerika utara. Ibn Bajjah tetap tinggal di kota itu dan masih dalam usia dua puluh tahunan, tampil sebagai wazir Gubernur Barber, Ibn Tifalwith, ipar laki-laki Pangeran Al-Murabithun ‘Ali. Diutus menjadi duta kepada mantan penguasa yang masih merdeka. Ia malahan dipenjara diduga karena ia dianggap menyerahkan nasibnya kepada para penakluk. Dibebaskan setelah beberapa bulan, ia melakukan perjalanan ke Valencia, tempat ia mendapat informasi tentang kematian Ibn Tifalwith pada 510 Hijriah/1117 Masehi dan takluknya Saragosa pada 512 Hijriah/1118 Masehi oleh Alphonso dari Aragon. Selama melakukan perjalanan ke Seville, ia menampilkan diri sebagai seorang dokter, kemudian pindah ke Granada, tempat ia menjadi terkenal berkat ilmunya. Saat ia melakukan perjalanan melalui Jativa, ia ditahan lagi, kini oleh penguasa Al-Murabithun, Ibrahim ibn Yusuf ibn Tasyfin, diduga karena bid’ah. Ia baru dibebaskan berkat campur tangan qadhi setempat, ayah atau kakek filosof Ibn Rusyd, yang tahu betul apa yang dimaksud Ibn Bajjah dengan upayanya menarik garis demarkasi yang jelas dan tegas antara klaim-klaim keimanan dan tujuan-tujuan filosof.[4]
Di Fas Ibn Bajjah memasuki lingkungan Istana Gubernur Abu Bakr ibn Tasyfin dan kembali menjadi wazir, kali ini sekitar 20 tahun, bolak balik dari kota Granada, Seville, dan Oran. Sahabat dan muridnya, Abu Al-Hasan ibn Al-Imam, juga menjadi wazir dan dipuji secara layak dalam salah satu karya Ibn Bajjah. Sesungguhnya, tulisan-tulisan Ibn Bajjah menunjukkan tanggapan yang tajam dan hidup terhadap problematika filosof dari Plato, Aristoteles, dan Galen. Mengakui gurunya sebagai filosof kreatif Barat Islam pertama, Ibn Al-Imam peduli untuk menyalin tulisan-tulisan Ibn Bajjah pada saat ia menjabat sebagai kepala kantor keuangan Seville, dengan menggunakan otograf gurunya dan di bawah pengawasannya, hasil salinannya pada gilirannya disalin ulang dalam naskah yang sekarang tersimpan di Oxford.[5]
Ibn Khaldun, ahli teori sosial besar Arab, menyebut Al-Farabi dan Ibn Sina sebagai filosof-filosof Islam di Timur, Ibn Bajjah dan Ibn Rusyd di Barat. Maimonides juga sangat mengagumi Ibn Bajjah, yang mengutip komentarnya atas physics Aristoteles, dengan mengikuti jejaknya dalam astronomi, epistimologi, dan metafisika jiwa. Dalam surat terkenalnya kepada penerjemah bahasa Ibrani dari The Guide of The Perplexed yang berbahasa Arab, ia menyebut Ibn Bajjah sebagai seorang filosof besar dan menaruh semua tulisannya pada peringkat pertama. Akan tetapi Ibn Thufail mengeluhkan karya-karya Ibn Bajjah tak tertata dan tak lengkap. Seraya menduga, karena tidak pernah bertemu secara pribadi, bahwa keasyikan duniawi telah menyisakan sedikit waktu Ibn Bajjah untuk filsafat. Ibn Thufail juga mengeluhkan kritik Ibn Bajjah atas mistisisme. Meskipun demikian karya-karyanya merentang dari The Art of Healing hingga komentar-komentar atas Aristoteles, hingga karya tentang tumbuhan, dan bahkan karya mengenai berburu. Sekitar tiga puluh karya pendek banyak di antaranya yang belum selesai masih terpelihara dalam bentuk manuskrip. Karya-karya tersebut antara lain berupa komentar atas logika Al-Farabi, dan esai mengenai tujuan hidup manusia, akal aktif, Tadbir Al-Mutawahhid, dan pidato tertulis Risalah Al-Wada yang ditujukan kepada Ibn Al-Imam. Ibn Bajjah memberikan sumbangan berupa paling tidak tiga tema filosofis pada karya-karya para penerusnya Ibn Thufail, Ibn Rusyd, dan Maimonides. Teorinya berupa ittishal, kontak intelektual dengan tuhan. Pendekatannya yang tajam kepada doktrin monopsikisme, dan cita-citanya tentang penguasaan diri.[6]
B.  Karya-karya Ibn Bajjah
Di antara karya-karya Ibn Bajjah yang terpenting adalah:[7]
1.      Risalah Al-Wada’,berisi tentang penggerak pertama bagi wujud manusia, alam, serta beberapa uraian mengenai kedokteran. Buku ini tersimpan di perpustakaan Bodleian.
2.      Kitab An-Nafs, berisi keterangan mengenai kegemaran Ibn Bajjah, yakni pemusatan dalam batas kemungkinan persatuan jiwa manusia dengan tuhan, sebagai aktivitas manusia yang tertinggi dan kebahagiaan yang tertinggi, yang merupakan tujuan akhir dari wujud manusia.
3.      Risalah Al-Ittishal Al-Aql bi Al-Insan (perhubungan akal dengan manusia), berisi uraian tentang pertemuan manusia dengan akal fa’al.
4.      Komentar terhadap logika Al-Farabi, sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Escurial (Spanyol).
5.      Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, Al-Farabi, Porphyrius dan sebagainya. Menurut Carra de Vaux, di perpustakaan Berlin ada dua puluh empat risalah manuskrip karangan Ibn Bajjah. Diantaranya Tardiyyah.
6.      Kitab Al-Nabt, Al-Andalus.
7.      Risalah Al-Ghayah Al-Insaniyyah.
8.      Risalah Tadbiirul Mutawahhid (Uzlah).[8]
9.      Beberapa risalah tentang falak dan ketabiban.
10.  Tardiyyah sebuah puisi yang ada di The Berlin Library.[9]
11.  Majallah Al-Majma’ Al-‘Ilmu Al-‘Arabi, Risalah Al-Ghayah Al-Insaniyah berjudul Ibnu Bajjah On Human End, dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan.
Sebagai gambaran karya Ibn Bajjah, penulis sajikan intisari kitab induk karya Ibn Bajjah seperti Tadbir Al-Mutawahhid dan Risalah Itthisal Al-Aql bi Al-Insan. Tadbirul Mutawahhid adalah sebuah buku tentang moral dan politik. Yang disusun menurut buku Al-Madinatul Fadhilah karya al-Farabi. Yang dimaksud dengan mutawahhid ialah manusia yang hidup menyendiri, hidup di dalam menara gading, merenungkan berbagai ilmu teoretis. Risalah Ittishal Ibn Bajjah membagi manusia dalam tiga golongan, yaitu:[10]
Ø  Kaum awam (Al-Jumhur).
Ø  Kaum khawasa atau kaum cendekiawan (An-Nudzdzar).
Ø  Kaum yang bahagia.
C.  Karya-karya Filsafat Ibn Bajjah.
Karya-karya filsafat Ibn Bajjah dapat di uraikan sebagai berikut:
1.    Filsafat ilmu pengetahuan (epistemologi)
Pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah ilham, Ibn Bajjah menolak pendapat tersebut. Bagi Ibn Bajjah seseorang dapat mencapai puncak makrifat (meleburkan diri dengan akal fa’al) jika ia telah dapat melepaskan diri dari keburukan-keburukan pikiran untuk memperoleh pengetahuan dan ilmu sebanyak mungkin dan dapat menenangkan pikirannya atas pikiran hewani.
Kemampuan menyendiri dan mempergunakan kekuatan akalnya akan dapat memperoleh pengetahuan dan kecerdasan yang lebih besar. Pemikiran insani dapat mengalahkan pemikiran hewani, sekaligus pemikiran inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Ibn Bajjah juga menjelaskan bahwa masyarakat umum bisa mengalahkan perseorangan. Masyarakat dapat melumpuhkan daya kemampuan  berpikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuatan-perbuatan rendah dan keinginan hawa nafsu yang kuat. Jadi, dengan kekuatan dirinya manusia bisa sampai kepada maratabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan. Untuk itu seseorang harus mengasingkan pemikiran dan jiwanya dari masyarakat, serta membebaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi.[11]
Pemikiran tentang epistimologi ini disebutkan Ibn Bajjah dalam bukunya, Tadbir Al-Mutawahhid yang berisi delapan pasal, dapat disarikan sebagai berikut:
Ø Pasal pertama, mengenai penjelasan tadbir yang dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang berkaitan dengan perbuatan menuju suatu tujuan.
Ø Pasal kedua, berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan.
Ø Pasal ketiga, berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran.
Ø Pasal keempat, pembagian perbuatan manusia kepada tiga macam (jasmani, rohaniah perseorangan, dan rohaniah umum).
Ø Pasal kelima, berisi tentang seorang mutawahhid (penyendiri) harus memilih tingkatan perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai pada tujuan akhir.
Ø Pasal keenam dan tujuh, memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Ø Pasal kedelapan, menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
Pengetahuan yang didapatkan, akan membangun kepribadian seseorang. Untuk itu ada empat sebab (bentuk, materi, agen dan tujuan), yang harus diketahui oleh manusia untuk memahami obyek-obyek pengetahuan, sehingga mencapai keimanan terhadap Tuhan, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan akhirat.
Dengan penjelasan tersebut, tampaknya metode yang diajukan Ibn Bajjah adalah perpaduan perasaan dan akal. Dalam masalah pengetahuan fakta, dia menggunakan metode rasional-empiris, tetapi mengenai kebenaran akan keberadaan Tuhan dia mempergunakan filsafat. Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh manusia apabila manusia menyendiri (uzlah).
Menurut Ibn Bajjah, cara manusia mendekati Tuhan tidak harus melalui amalan tasawuf, seperti yang dikemukakan Imam al-Ghazali, melainkan bisa juga dilakukan melalui amalan berpikir. Dengan ilmu dan amalan berpikir, segala keutamaan dan perbuatan moral dapat diarahkan untuk memimpin dan menguasai jiwa. Usaha ini dapat menghilangkan sifat hewaniah yang bersarang dalam hati dan diri seorang manusia.[12]
Pikiran Ibn Bajjah tersebut berlawanan sekali dengan pemikiran al-Ghazali yang menetapkan bahwa akal pikiran itu lemah dan tidak dapat dipercaya, serta semua pengetahuan manusia sia-sia belaka karena tidak bisa menyampaikan pada suatu kebenaran, dan cara yang paling baik untuk mencapai makrifat yang benar ialah beribadah (tasawuf).[13]
2.    Metafisika
Menurut Ibn Bajjah bahwa segala yang maujud terbagi dua (bergerak dan tidak bergerak). Yang bergerak itu adalah materi yang sifatnya terbatas. Dia bergerak dengan gerakan yang bersifat azali. Gerakan ini tidak mungkin dari zatnya sendiri, karena dia terbatas. Tetapi sebab gerakan berasal dari kekuatan yang tidak terbatas atau wujud, yaitu akal. Tuhan menganugerahkan pada manusia rahmat dan kapasitas, melalui hal itu dapat diketahui perbedaan antara manusia. Tetapi, keduanya ada yang bawaan sejak lahir, dan tidak perlu diupayakan. Di samping itu, ada rahmat dan kapasitas yang harus diusahakan sesuai dengan kehendak Tuhan, di bawah bimbingan para nabi. Karena itu manusia harus menyambut seruan nabi dan melaksanakan apa yang di perintahkannya. Dengan begitu, seseorang akan dapat melihat lewat wawasan hatinya sifat setiap makhluk, asal mulanya dan ketentuan akhirnya. Dengan begitu pula, ia dapat mengetahui bahwa Tuhan merupakan suatu kemaujudan, mesti satu, tidak bersekutu, dan pencipta segalanya. Untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan, Ibn Bajjah menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu:
Ø Membuat lidah kita selalu mengingat Tuhan dan memuliakan-Nya.
Ø Membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati.
Ø Menghindari segala sesuatu yang membuat kita lalai mengingat Tuhan, atau membuat hati berpaling dari-Nya. Tiga hal ini harus dilakukan terus menerus setiap hari.[14]
3.    Moral atau etika
Bagi Ibn Bajjah perbuatan itu dilihat dari motifnya ada dua macam perbuatan, yaitu:
Ø Perbuatan yang timbul dari naluri hewani.
Ø Perbuatan yang timbul dari naluri manusiawi (dari pemikiran yang luas, kemauan yang bersih dan tinggi).
Manusia yang ingin menundukkan perbuatan hewani pada dirinya, ia harus melalui dengan melaksanakan perbuatan manusiawi. Dalam keadaan yang demikianlah seseorang dapat dikatakan menjadi manusia yang tidak ada kekurangannya.[15]
Tujuan hidup di dunia ini, menurut Ibn Bajjah adalah untuk memperoleh kebahagiaan. Untuk itu, diperlukan usaha yang bersumber pada kemauan bebas dan pertimbangan akal. Perbuatan manusia adakalanya didorong oleh naluri yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Selain itu, manusia memiliki kelebihan dengan adanya naluri insani yang tidak terdapat pada hewan. Dengan naluri ini, manusia dapat melakukan aktivitas berdasarkan pertimbangan akal, bebas dari rangsangan naluri hewani. Perbuatan hewani adalah perbuatan yang didasarkan kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik semata-mata dan segala yang berhubungan dengan itu. [16]
Keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang menjadi sumber pengetahuannya. Semua perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah. Pada dasarnya jiwa hewani itu tunduk kepada akal, kecuali pada manusia yang menyeleweng dari kemanusiaannya, sehingga kelakuannya sudah menyerupai binatang.  Untuk menundukkan segi hewani pada dirinya guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, ia harus memulai dengan melaksanakan segi-segi kemanusiaannya.
Jika karakteristik utama manusia dan tindakannya yang patut adalah akal budi, maka jelaslah bahwa manusia merupakan salah satu bentuk intelektual atau spiritual yang merupakan bagian tertinggi dari segala besar wujud. Oleh karena itu, Ibn Bajjah kemudian menentukan posisi manusia sepanjang skala bentuk-bentuk spiritual dalam hierarki universal dari wujud yang telah dipopulerkan oleh kaum Neo-Platonis Muslim. Dari bentuk-bentuk itu memperkenalkan empat macam, yaitu:
Ø Bentuk-bentuk benda samawi.
Ø Intelek aktif dan perolehan.
Ø Bentuk-bentuk akali yang terlepas dari materi.
Ø Bentuk-bentuk atau pengertian-pengertian yang tersimpan dalam daya-daya batin jiwa.
4.    Politik.
Seorang mutawahhid (penyendiri) harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi, hendaklah seseorang mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret kedalam arus perbuatan rendah masyarakat. Jadi, penyendiri dalam konsep Ibn Bajjah, lebih ditekankan pada sikap hidup dalam masyarakat, tidak pada tempat tinggal, dan karenanya ia juga berarti individu dan masyarakat. Dalam pengertian ini, mutawahhid selalu berada di tengah masyarakat. Ibn Bajjah menyadari bahwa warga yang memiliki sikap dan bertindak  mulia, tidak banyak jumlahnya dalam masyarakat. Ia mengibaratkannya sebagai tumbuhan kecil yang hidup di antara pepohonan besar yang beraneka macam, sebagai perantau atau musafir yang memiliki watak budi dan tingkah laku yang berbeda dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat yang mengitarinya. Mereka mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[17]
Ø Selalu menjaga kesehatan.
Ø Selalu makan apa yang diperlukan oleh tubuh.
Ø Sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup yang menyangkut sandang, pangan dan tempat tinggal, karena kebutuhan yang demikian bukan tujuan yang utama bagi kehidupannya.
Ø Bergaul dengan orang-orang yang berilmu dan menjauhi orang-orang yang mementingkan kehidupan duniawi.
Ø Mengutamakan ilmu-ilmu teoritis dan meninggalkan ilmu-ilmu praktis karena kurang diperlukan dalam tujuan hidup.
Ø Melakukan amal baik atas kemauan sendiri menurut pertimbangan akal.
Ø Menjauhkan diri dari kehidupan zuhud.
5.    Teori Ittishal
Ibn Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata-mata melalui panca indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, isi ilmu yang prediktif dan eksplanatif serta landasan bagi penalaran apodeiktik (aphodeictic) tentang alam, hanya dapat dicapai dengan bantuan akal aktif (akal fa’al) intelegensi yang mengatur.[18] Akal manusia tidak bisa direduksi menjadi jasmani atau suatu fungsi indrawi belaka. Dari sini Ibn Bajjah terbukti memandangnya suatu langkah mudah kearah akal aktif hipostatik, sebagai sumber dan pendorong rasionalitas manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori itthisal Ibn Bajjah, yaitu tentang hubungan manusia dengan akal aktif. Tujuan teori ini dalah bagaimana cara mencapai, mengenal, dan mengetahui Tuhan, yaitu dengan cara mengetahui perbuatan-perbuatan Tuhan , memahami sesuatu melalui gagasan-gagasan universalnya. Sebab setiap perbuatan ada tujuannya, baik perbuatan manusia maupun Tuhan, baik bersifat jasmani atau rohani.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibn Bajjah memiliki nama lengkap Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalusi al-Samqusti Ibn Bajjah. Ibn Bajjah tumbuh di Saragosa. Ia adalah seorang dokter, musisi, penulis lagu dan puisi popular dengan “bakat lirik yang mengagumkan”. Ibn Bajjah memiliki beberapa karya antara lain:
1.      Risalah al-Wada’.
2.      Kitab al-Nafs.
3.      Risalah al-Ittashal al-Aql bi al-Insan (perhubungan akal dengan manusia).
4.      tardiyyah.
5.      Kitab al-Nabt, al-Andalus, Risalah al-Ittishal al-‘Aql bi al-Insan.
6.      Risalah al-Ghayah al-Insaniyyah.
7.      Risalah Tadbiirul Mutawahhid (Uzlah).
8.      Beberapa risalah tentang falak dan ketabiban.
9.      Tardiyyah sebuah puisi yang ada di The Berlin Library.
10.  Majallah al-Majma’al-‘Ilmu al-‘Arabi, risalah al-Ghayah al-Insaniyah berjudul Ibnu Bajjah On Human End, dengan terjemahan bahasa Inggris, Journal of Asiatic Society of Pakistan.







DAFTAR PUSTAKA
Dahri Tiam, Sunardji, Berkenalan Dengan Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 2001.
Murtiningsih, Wahyu, Biografi Para Ilmuan Muslim, Yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2009.
Nashr Sayyed, Hossein, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tim Penerjemah Mizan (terj,), Routledge, London dan New York, 1996.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep Filsuf dan Ajarannya), Bandung, Pustaka Setia, 2009.



[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2005), h. 93
[2] Wahyu Murtiningsih, Biografi Para Ilmuan Muslim, (Yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2009), h. 174
[3] Sunardji Dahri Tiam, Berkenalan Dengan Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2001), h. 121-122
[4] Sayyed Hossein Nashr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Tim Penerjemah Mizan (terj,) 1996, h. 367
[5] Ibid., h. 367
[6] Ibid., h. 369
[7] Ibid., h. 94
[8] Ibid., h. 122
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Konsep Filsuf dan Ajarannya), (Bandung, Pustaka Setia, 2009), h. 200
[10] Ibid., h. 201
[11] Ibid., h. 95
[12] Ibid., h. 175
[13] Ibid., h. 202
[14] Ibid., h. 98
[15] Ibid., h. 123
[16] Ibid., h. 99
[17] Ibid., h. 102
[18] Ibid., h. 369

Tidak ada komentar:

Posting Komentar