Sabtu, 18 April 2015

fiqih dan ushul fiqh



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pengertian ushul fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata yaitu ushul dan fiqh, dan dapat dilihat pula sebagai mana suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Ushul fiqh dibukukan pada abad ke-3 H atau pada masa awal Imam Syafi’i, dan ia dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam bukan berarti masa-masa sebelumnya tidak ada upaya-upaya istimbath ataupun pemikiran-pemikiran hukum Islam.
B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.    Apa pengertian ushul fiqh?
2.    Bagaimana hubungan ilmu fiqh dengan ushul fiqh?
3.    Bagaimana pembahasan ushul fiqh?
4.    Apa saja objek kajian ushul fiqh?
5.    Apa saja sumber-sumber penyusunan ushul fiqh?











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Ushul Fikih
Ushul fikih terdiri dari dua kata, kata ushul dan kata fikih  dilihat dari tata bahasa (arab) rangkaian kata ushul dan kata fikih  tersebut dinamakan dengan tarkib idhafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul  bagi  fikih.
Kata ushul adalah bentuk jama’ dari kata ashl yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain, atau bermakna fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi sehingga ushul fikih  berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fikih.[1]
Adapun menurut bahasa, memiliki beberapa pengertian, antara lain:
1.    Ashl dapat berarti dalil atau landasan hukum.
2.    Dapat bermakna kaidah kulliyah yaitu aturan ketentuan umum.
3.    Rajih  yang berarti terkuat.
4.    far’u  yang berarti cabang.
5.    Mustashhab  berarti memberlakukan hukum yang ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
Dari kelima pengertian ushul secara bahasa tersebut maka pengertian yang biasa dipakai dalam ilmu ushul fikih adalah dalil, yaitu dalil-dalil fikih. Dengan melihat pengertian ashl  menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa ushul fikih sebagai rangkaian dua kata, berarti dalil-dalil bagi fikih dan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan umum bagi fikih.[2]
Pengertian ushul fikih memuiliki beberapa pengertian antara lain:
1.    Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy
Ushul fikih itu ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum.)
Dalil-dalinya yang dimaksud ialah undang-undang (kaidah-kaidah) yang ditimbulkan dari bahasa. Maka dengan uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dikehendaki dengan ushul fiqh adalah dalil-dalinya seperti Al-Qur’an, sunnah nabi, ijma’ qias.[3]
2.    Dikehendaki dengan ushul fiqh sebagai satu rangkaian kata-kata ialah:
·      Kaidah-kaidah istimbath hukum (fiqh) yang di ambil dari undang-undang bahasa arab, semisal kaidah “perintah” menunjukkan kepada wajib “larangan” menunjukkan kepada haram.
·      Dalil-dalil hukum (fiqh), seperti perbuatan nabi SAW menjadi hujjah, seperti “ijma’” menjadi hujjah dan qias hujjah.[4]
3.    Ahli ushul fiqh mengartikan dan memaksudkan pula bahwa perkataan ushul itu jama’ dari kata ashl yang mempunyai arti yang kuat atau rajih.
4.    Para ahli ushul fiqh memaksudkan dengan perkataan ashal itu dengan pengerrtian mushtashhab yaitu meneruskan hukum yang telah ada.
5.    Ushul fiqh sebagai nama bagi suatu cabang ilmu syari’at atau suatu disiplin ilmu adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan undang-undang atau kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dipergunakan bagi mengistimbathkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amal perbuatan dari dalil-dalil yang tafshili atau terperinci.
6.    Definisi ushul fiqh yang dikemukakan Al-Ustadz Abd. Hamid Hakim dalam kitabnya sulam adalah sesuatu yang menjadi dasar atau pokok dari sesuatu.
7.    Definisi ushul fiqh yang dikemukakan Drs. Muhammad Thalib.
Kaidah-kaidah yang merupakan sarana untuk mendapatkan hukumnya, perbuatan yang diperoleh dengan jalan menggumpulkan dalil secara terperinci.[5]

B.  Hubungan Ilmu Fiqh dengan Ushul Fiqh
Hubungan ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah merupakan produk ushul fiqh. Ilmu fiqh berkembang karena berkembangnya ushul fiqh. Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala ilmu ushul fiqh mengalami kemajuan karena ilmu ushul fiqh adalah semacam ilmu alat yang menjelaskan metode dan sistem penetuan hukum berdasarkan dalil-dalil naqli maupun aqli. Ilmu ushul fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam-macam ketentuan dan kaidah, sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus di amalkan manusia.[6]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu fiqh berkembang disebabkan berkembangnya ilmu ushul fiqh dikalangan dunia Islam.
C.  Pembahasan Ushul Fiqh
Untuk mengetahui pembahasan dan pembicaraan dalam ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti ushul fiqh, harus kita ketahui “asal” dan arti “furu”.
Asal artinya sumber, dasar. Menurut istilah agama asal adalah suatu yang menjadi dasar (sendi) oleh suatu yang lain, sedangkan furu’ sesuatu yang di letakkan diatas asal tadi.
Asal menurut istilah dipakaikan kepada lima pengertian antara lain:[7]
1.    Kaidah kulliyah (peraturan umum), melaksanakan semua peraturan-peraturan yang ditetapkan  oleh syara’, kecuali bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.
2.    Rajih (terkuat), asal pada perkataan seseorang benar menurut orang  yang mendengar.
3.    Mustashhab menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada.
4.    Maqis alaih (tempat mengqiaskan)
5.    Dalil (alasan) asal hukum sesuatu karena dalilnya seperti wajib zakat karena firman Allah SWT.
Jadi yang dikatakan dan dibicarakan dalam ushul fiqh adalah sebagai berikut:
“ilmu ushul fiqh menyelidiki keadaan dalil-dalil syara’ dan menyelidiki bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Karena itu, yasng di bicarakan ushul fiqh ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukkannya kepada hukum atas perbuatan orang mukallaf”.[8]
Sebagaimana suatu ilmu ushul fiqh merupakan dasar atau fondasi ilmu fiqh. Saat ini biasa di kenal dengan metodologi hukum Islam. Singkatnya, ushul fiqh merupakan metode atau alat untuk memahami dalil-dalil hukum Islam, sedangkan fiqh adalah produk atau hasil pemahaman hukum Islam itu sendiri.[9]
D.  Objek Kajian Ushul Fiqh
Para ulama ushul fiqh berpendapat bahwa objek kajian ushul fiqh adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global), seperti kehujahan ijma’ dan qiyas.[10]
   Apabila di rinci objek kajian utama ushul fiqh ada empat:[11]
1.    Tentang pengertian dan pembagian hukum, yang meliputi pembuat hukum (syari’), beban hukum (mahkum bih), dan penanggung beban hukum (mahkumalaih).
2.    Tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalil hukum.
3.    Kaidah-kaidah memahami sumber hukum, termasuk ketika terjadi pertentangan tuntutan sumber hukum.
4.    Ketentuan orang yang mampu melakukan penggalian hukum (mujtahid).

E.   Sumber-sumber penyusunan ushul fiqh
       Imam Ibnu Hajib berpendapat bahwa sumber utama penyusunan ushul fiqh adalah bahasa (arab), ilmu kalam, dan hukum-hukum (fiqh).
       Ilmu  kalam menjadi bagian penting dalam ushul fiqh, khususnya ushul fiqh aliran mutakallimin (syafi’iyyah). Ilmu kalam menjadi dasar pengenalan tentang siapa pemilik otoritas hukum, hukum sebelum ada wahyu, dan kaitan keimanan dengan pembebanan hukum. Ilmu kalam menjadi landasan untuk membangun sebuah sistem hukum yang berlandaskan nilai ketuhanan dan keimanan.
       Ilmu bahasa merupakan bagian terpenting, para ulama ushul memberikan porsi besar bagi ulasan mengenai teori bahasa sehingga pemaknaan kata dan kalimat.
       Ilmu fiqh diperlukan karena pembahasan mengenai kaidah-kaidah memerlukan contoh-contoh untuk membumikan kaidah-kaidah tersebut tanpa contoh praktis, akan sulit untuk melihat pengaruh pembedaan  kaidah terhadap kesimpulan hukum.
       Salain tiga sumber di atas ada beberapa sumber lain yang menjadi bahan penyusunan ushul fiqh, yaitu ilmu Al-Qur’an, ilmu hadis, dan logika. Ilmu Al-Qur’an digunakan untuk menjabarkan Al-Qur’an, sebagai sumber hukum pertama dan sekaligus bagaimana memahami ayat-ayatnya. Ilmu hadis adalah sumber hukum kedua hukum Islam. Agar dapat digunakan sebagai sumber istimbath (pengambilan hukum) hadis harus jelas dulu kesahihannya karena hadis dlaif, apalagi yang maudlu’ (palsu) tidak bisa digunakan sebagai hujjah (argumentasi). Logika Yunani (mantiq) pun menjadi bahan dalam penyusunan ushul fiqh, utamanya di kalangan muta’akhkhirin. Imam Al-Ghazali di pandang sebagai pelopor utama dimasukkannya bahasan logika dalam ushul fiqh, meskipun sebenarnya Imam Ibnu Hazm, melalui kitab al-ihkam fi ushul al-ahkam sedikit banyak menggunakan aspek logika Yunani.[12]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Ushul fikih terdiri dari dua kata, kata ushul dan kata fikih  dilihat dari tata bahasa (arab) rangkaian kata ushul dan kata fikih  tersebut dinamakan dengan tarkib idhafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul  bagi  fikih.
       Kata ushul adalah bentuk jama’ dari kata ashl yang menurut bahasa berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain, atau bermakna fondasi sesuatu, baik bersifat materi maupun non materi sehingga ushul fikih  berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fikih.













DAFTAR PUSTAKA
            A. Hanfi, Ushul Fiqh, Wijaya, Jakarta, 1961.
            Imam Hanafi, Pengantantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, Rahmat Offset dan Digital Printing, Pamekasan, Cetakan ke-2, 2013.
            Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
Saifuddin Nur. Ilmu fiqh, Humaniora, Bandung, 2007
            Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Surabaya, 2005.



[1] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Amzah, Surabaya, 2005) hlm:340
[2] Ibid, hlm: 341
[3] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), hlm: 17
[4] Ibid, hlm: 18
[5] A. Hanfi, Ushul Fiqh, (Wijaya, Jakarta, 1961), hlm: 10
[6] Ibid, hlm: 24
[7] Ibid, hlm: 32
[8] Ibid, hlm: 33
[9] Nur Saifuddin. Ilmu fiqh. (Humaniora. Bandung.2007). hlm: 8
[10] Ibid, hlm: 344
[11] Imam Hanafi, Pengantantar Ushul Fiqh dan Ilmu Fiqh, (Rahmat Offset dan Digital Printing, Pamekasan, Cetakan ke-2, 2013), hlm: 10
[12] Ibid, hlm: 13-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar