Sabtu, 18 April 2015

akhlak tasawuf



BAB II
RUMUSAN MASALAH
A.  Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud akhlak?
2.      Apa yang dimaksud tasawuf?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan ilmu tasawuf?
4.      Apa saja faktor lahirnya ilmu tasawuf?
5.      Apa saja sumber dan dasar ilmu tasawuf?
6.      Bagaimana pembagian tasawuf?
7.      Bagaimana hubungan antara tasawuf dan agama?
8.      Bagaimana hubungan antara tasawuf dan pendidikan?

B.  Tujuan Masalah
1.    Untuk mengetahui definisi akhlak.
2.    Untuk mengethui definisa yasawuf.
3.    Untuk mengetahui sejarah perkembangan ilmu tasawuf
4.    Untuk mengetahui faktor lahirnya ilmu tasawuf.
5.    Untuk mengetahui sumber dan dasar ilmu tasawuf
6.    Untuk mengetahui pembagian tasawuf
7.    Untuk mengetahui hubungan antara tasawuf dan agama
8.    Untuk mengetahui hubungan antara tasawuf dan pendidikan






BAB III
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Akhlak

Akhlak adalah jamak dari kata khuluk yang berarti budi pekerti. Istilah lain yang lebih lazim adalah etika yang berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat kebiasaan. Maka dapat di katakana bahwa akhlak adalah nafsiah (bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak), dan bentuknya yang kelihatan kita namakan mumalah (tindakan) atau suluk (perilaku) , maka akhlak adalah sumber dan perilaku adalah bentuknya[1]

B.  Pengertian Tasawuf

Para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf. Berikut beberapa pengertian tasawuf menurut bahasa.
1.      Shuffah yang berarti emper masjid Nabawi yang yang didiami oleh sebagian shahabat Anshar[2].
2.      Shafa yang berarti bersih atau jernih[3].
3.      Shaff berarti barisan salat batau barisan peang.
4.      Saufi yang berarti kebijaksanaan.
5.      Shuff yang berarti bulu domba.
6.      Shaufanah yang berarti buah-buahan kecil yang berbulu banyak.

Dr. Ibrahim Basyuni mengklasafikasikan tasawuf menjadi tiga, yakni menitik beratkan pada al-bidayah (tasawuf dalam tataran elementer), al-mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate) dan al-muzaqat (tasawuf dalam tataran advance)[4].
Dengan demikian tasawuf itu ialah suatu system latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatakan diri kepada Allah. Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah bagian ajaran islam, karena ia membina akhlak manusia, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin[5].

Al-kattani menegaskan, “tasawuf adalah akhlak. Barang siapa yang melebihimu dalam akhlak berarti telah melebihimu dalam taswuf[6].”
C.  Sejarah perkembangan Ilmu Tasawuf

Sebagai sebuah ajaran tasawuf muncul pada zaman Rasulullah SAW, sebab misi kerasulannya meliputi ajaran yang berkaitan dengan keyakinan atau keimanan (akidah) ibadah dan akhlak. Akhlak merupakan ajaran Rasulullah yang ditanamkan kepada umatnya melalui pengajaran dan pembinan serta di iringi contoh oleh Rasulullah.
Pada masa sahabat, penanaman, pembinaan dan pengamalan akhlak lebih merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah. Seperti halnya Abu Bakar yang dikenal dengan kearifannya, Umar Bin Khattab dikenal dengan ketegasannya, keadilannya dan kesederhanaanya, Ustman Bin Affan yang di kenal sebagai sosok yang dermawan dan sabar, dan Ali Bin Abi Thalib dikenal sebagai oang yang tegas, tangkas sert mendalam keilmuannya. Segala Akhlak dan perilaku yang ditunjukkan oleh para sahabat merupakan kelanjutan dan upaya mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW.
Tasawuf dimulai pada masa tabi’in yaitu pada masa khalifah Bani Umayah. Istilah tasawuf pertama kali dikenalkan oleh tokoh yang bernama Abu Hisyam seorang zahid asal Syiria. Ia mendiikan lembaga kaum sufi yang dinamakan taqiyah (sejenis padepokan sufi). Pada masa pertengahan islam tasawuf mulai ditulis oleh kaum sufi diantaranya Al-Ghazali, Al-Qusyayri, Al-Kalabadzi. Mereka banyak menghasilka tulisan-tulisan yang  sangat berharga dan memperkaya hazanah pemikiran umat islam[7].

D.  Faktor Lahirnya Tasawuf

Abul ‘Ala ‘Afifi mengklasaifikasikan faktor ajaran tasawuf ini menjadi empat aliran. Diantaranya Adalah:
1.    Faktor ajaran islam yang terkandung dalam kedua sumbernya, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.    Reaksi kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi dikalangan umat islam sendiri.
3.    Kependetaan (rabbaniyah) agama nasrani, sebagai konsekwensi agama yang lahir sebelum islam, pemeluknya terbesar di seluruh negara, dan sikap-sikapnya mempengaruhi agama-agama lain, termasuk pemeluk islam.
4.    Reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam. Keduanya tidk bisa memuaskan batin seorang muslim. Yang pertama mementingkan formalism dan legalisme dalam menjalankan syariat islam, dan yang kedua mementingkan pemikiran yang rasional, dalam pemahaman agama islam[8].

E.  Sumber dan Dasar Tasawuf

Para ulama’ dan tokoh islam menolak bahwa tasawuf berasal dari luar ilmu islam. Diantara tokoh yang menolaknya adalah Abdul Halim Mahmud yang menyatakan bahwa sesungguhnya ajaran-ajaran tasawuf itu berasal dan di gali dari ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadits yang ,menerangkan berbagai perilaku sufistik yang dalilnya dijadikan dasar dalam ajaran-ajaran tasawuf.
Terdapat banyak ayat yang Al-Qur’an dan Hadits yang menerangkan ajaran tasawuf yang kesemuanya itu menandakn bahwa ajaran tasawuf bersal dari islam. Diantaranya adalah:
1.    Ajaran bahwa Allah itu maha dekat dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 186.
2.    Ajaran bahwa kita tidak boleh tertipu oleh kehidupan dunia dan kita hidup dalam zuhud, dijelaskan dalam Al- Qur’an surat Fathir ayat 5.
3.    Ajaran tentang keharusan bertaubat, dijelaskan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 8.

F.   Pembagian Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf dikelompokkan menjadi dua:
1.    Tasawuf ilmi atau nadhari
Yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Sejarah dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri. Ini yang tergolong tasawuf ilmi atau nadhari.
2.    Tasawuf amali atau tathbiqi
Yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka menggapai tujuan tasawuf.

Sementara ada yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, antara lain:
1.    Tasawuf akhlaki
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal[9].

2.    Tasawuf amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Tasawuf amali berkonotsikan tarekat[10].
3.    Tasawuf falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional[11].

G. Tasawuf dan Agama

Agama apapun pada dasarnya mengajarkan kesabaran, keikhlasan, kejujuran, keadilan, toleransi, solidaritas dan semacamnya. Sehingga tidak terasa adanya perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Praktik tasawuf menyentuh hati nurani manusia agar manusia tidak mempersoalkan perbedaan agama yang di anutnya dan mencari sisi-sisi yang paling dalam dari ajaran agamanya. Dengan demikian tasawuf dapat merukunkan orang-orang yang berbeda agama atau aliran dalam agama.
Agama dapat menjadi faktor integrasi dan disentegrasi sosial. Aagama akan menjadi integrasi jika satu kelompok menganut satu agama, dan akan menjadi disentegrasi apabila dalam satu kelompok menganut agama yang berbeda-beda. Karena masyarakat tersebut akan terbelah menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah agama yang dianut.
Tasawuf selalu menjadi faktor integrasi, karena tasawuf menyentuh hati nurani manusia 5tanpa melihat perbedaan agama. Inilah antara lain perbedaan tasawuf dengan agama. Orang yang taat beragama belum tentu bertasawuf  sedangkan orang yang bertasawuf pasti beragama, karena dalam islam tasawuf adalah bagian dari agama[12].

H.  Tasawuf dan Pendidkan

Ajaran islam bias di bagi dua aspek yaitu: aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek eksoteris (batiniyah). Aspek esoteris dalam islam disebut tasawuf, dengan melemahnya aspek esoteris islam maka melemah pulalah pengajaran tasawuf dalam pendidikan islam. Padahal pengajaran tasawuf itu harus seimbang dengan aspek eksoteris islam, karena tanpa adanya pengajaran tasawuf yang seimbang dengan aspek eksoteris, maka anak didik kurang menghayati makna ajaran islam. Oleh krena itu menurut Nurkholis Madjid, pengajaran tasawuf harus di ajarkan sejak dini. Mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah pun  perguruan tinggi baik negri maupun swasta. Karena pengajaran tasawuf dilembaga pendidikan islam, mulai daiibtidaiyah sampai perguruan tinggi akan mendorong pengembangan dimensi etis atau akhlak peserta didik, sehingga mereka akan tumbuh dan berkembang menjadi umat yang tidak saja menguasai ilmu islam dan ilmu umum, tetapi juga berakhlak mulia.
Dengan demikian, tasawuf merupakan salah satu mata pelajaran yan perlu diajarkan di madrasah dan mata kuliah di perguruan tinggi islam, agar bisa mengembangkan kehidupan masyarakat dan bangsa yang bersih, sehat dan maju. Inilah arti penting kaitan antara tasawuf dengan pendidikan dalam islam[13].     












DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Mohammad Muchlis Solichin, M.Ag, Akhlak & Tasawuf, Pena Salsabila, Surabaya, 2013
Drs. H. A. Mustofa, Akhlak dan Tasawuf Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK, Pustaka Setia, bandung, 1997
‘Abd Al-Karim Ibn Hawazin Al-Qusyayri, Risalah Sufi A-Qusyayri, Penerbit Pustaka, Bandung, 1415 H – 1994 M
Sudirman Tebba, Tasawuf  Positif , Kencana, Bogor, 2003
Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, MA, Drs. H. Masyauddin, MA, Intelektualisme Tasawuf, Lembkota, Semarang, 2002


[1] Drs. H. Mustofa, akhlak tasawuf untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK// (Pustaka Setia Bandung, 1997) hlm:16
[2] Prof. Dr. H.M. Amin Syukkur, MA Drs. H. Masyharuddin, MA, Intelektualisme Tasawuf, //(Lembkota, Semarang, 2002) hlm:11
[3] Dr. H. Mohammad Muchlis Solichin, M.Ag, Akhlak dan Tasawuf//(Lini Penerbit CV. Salsabila Putra Pratama, Surabaya, 2013) hlm:122
[4]Ibid hlm:14
[5] Ibid, hlm:16
[6] Abd Al-Karim Ibn Hawazin Al-Qusyayri, Risalah Sufi Al-Qusyayri //(Penerbit Pustaka, Bandung, 1415  H – 1994 M) hlm:238
[7] Ibid hlm:127-128
[8] Ibid hlm:34-36
[9] Ibid hlm:45
[10] Ibid hlm:50
[11] Ibid hlm:51
[12] Sudirman Tebba, Tasawuf Positif//(Kencana Bogor,2003);hlm:125-126
[13] Ibid hlm:174-179

Tidak ada komentar:

Posting Komentar