Sabtu, 18 April 2015

poligami



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ikatan hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan. Perkawinan biasanya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan yang di jalani dengan maksud untuk membentuk suatu keluarga. Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak ditengah umat. Akibatnya berbagai macam kerancuan dalam pemikiran antipoligami pun menjadi konsumsi harian oleh para istri. Karena itu tak sedikit para istri yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosinya.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi, para suami digugat dan dihujat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya bahkan terpental dari kedudukannya. Seakan-akan telah melakukan dosa besar yang tidak bisa di ampuni lagi.
Dalam makalah ini kami mencoba mengupas apa itu poligami dan apa manfaatnya bagi manusia, karena kita sebagai umat islam harus yakin semua yang diciptakan Allah itu tidak ada yang sia-sia. Baik berupa benda-benda yang diciptakan ataupun aturan-aturan yang dibuatnya yang tujuannya tidak lain untuk kepentingan manusia dalam keseimbangan bermasyarakat dan alam.
B.  Rumusan Masalah
Adapaun permasalah yang akan dibahas dalam makala ini ialah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah poligami?
2.      Apa pengertian dari poligami?
3.      Apa yang menjadi dasar dan landasan hukum poligami?
4.      Bagaimana tata cara dan prosedur melakukan poligami?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Sejarah Poligami
Poligami sebenarnya sudah meluas sebelum kedatangan agama Islam. Banyak bangsa-bangsa yang sudah menerapkan poligami diantaranya bangsa Ibrani, Arab Jahiliah, dan Cisilia. Dari beberapa bangsa ini kemudian memengaruhi negara-negara Rusia, Lithuania, Estonia, Polandia, Cekoslowakia, dan Yugoslavia.
Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula membawa sistem pologami. Sebenarnya hingga sekarang sistem poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yang tidak beragama Islam. Seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina dn Jepang. Juga tidak benar jika dikatakan bahwa sisitem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami seab didalam Injil tidak ada satu ayatpun yang secara tegas melarang hal ini.
Perlu kita ingat bersama bahwa monogami merupakan sistem yang umum yang dilakun oleh bangsa-bangsa yang primitif. Berbanding berbalik dengan bangsa-bangsa yang sudah mengalami perubahan, monogami tidak lagi menonjol. Bangsa ini telah meninggalkan cara hidup yang primitif, sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini banyak melakukan apabila kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi, anggapan yang mengatakan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan. Meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia.
B.  Pengertian Poligami
Poligami merupakan terjemahan dari kata ta’addut al zawjat yaitu suatu kebolehan suami untuk beristri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan.[1] Poligami sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum Nabi Muhammad, bedanya pada zaman Rasulullah, seorang suami bebas untuk menikah dengan berapapun banyaknya istri. Namun, pada zaman Rasulullah sudah mulai ada batasan dari Allah untuk berpoligami hanya dengan maksimal empat istri saja. Banyak negara-negara besar seperti India dan negara-negara Islam dan non Islam menolak dan menentang poligami. Karena mereka mendukung hak-hak perempuan. Poligami mulai di tentang hanya pada era modern saja, hal ini disebabkan karena adanya revolusi industri yang membawa kepedulian terhadap kalangan perempuan akan hak-hak mereka yang mulai menuntut kesetaraan status perempuan dengan laki-laki.
Poligami memang sudah dipraktekkan secara luas di masyarakat pra Islam, tidak ada batasan jumlah istri yang dapat dimiliki oleh kaum pria. Para ahli tafsir Al-qur’an klasik telah merekam kasus-kasus dari sebagian besar orang Arab yang memiliki istri hingga sepuluh. Seperti dimasyarakat yang lain, di masyarakat Arab juga tidak ada sama sekali gagasan tentang keadilan terhadap istri-istri mereka. Para suamilah yang memutuskan siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada jalan lain untuk proses keadilan.[2]
Dengan bukti tersebut menyatakan bahwa poligami sudah ada sejak dulu namun berbeda-beda cara dan pelaksanaannya. Namun memiliki inti kesamaan pada perkawinan kepada istri yang lebih dari satu.
Asy-syarbini al-Khathib menuturkan, “seorang pria sunah tidak menikahi lebih dari satu istri tanpa hajat yang jelas. Dengan jelas an-nash telah menunjukkan bahwa asas pernikahan adalah monogami, bukan poligami.” Ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa asas pernikahan adalah poligami, artinya poligami itu sunah.[3]
Sebelum kedatangan Islam perkawinan dengan lebih dari seorang istri tidak ada hukumnya, tidak dibatasi jumlahnya dan tidak ada persyaratan apapun. Seorang lelaki memiliki kehendak tersendiri untuk menikah dengan berapa saja banyaknya. Kemudian setelah datangnya Islam perkawinan dengan istri lebih dari empat orang tidak dibolehkan. Hal ini menjadi penegas dalam Islam bahwasanya pernikahan dalam Islam memiliki batasan istri yakni maksimal hanya empat istri saja. Hal ini juga tidak terlepas dari beberapa syarat yang harus diindahkan dan dipenuhi untuk berpoligami.
Apabila Allah telah menetapkan suatu ketentuan terhadap umat manusia, maka Allah tentunya sudah mendesain semua hal yang terkait untuk mendukung hal tersebut. Pemberian hak terhadap kaum laki-laki untuk berpoligami tentunya didukung oleh desain laki-laki yang mampu menerima wanita lebih dari satu dan memberi kepada lebih dari satu wanita. Ketetapan Allah terhadap wanita yang hanya boleh memiliki satu suami dalam waktu yang sama, juga pasti di dukung oleh desain wanita yang memang hanya sanggup menerima dan member pada satu laki-laki saja.[4] Al-qur’an menyampaikan bahwa kita harus berprasangka baik kepada Allah, termasuk kepada apapun yang Dia putuskan.
C.  Dasar dan Hukum Poligami
Di dalam Alqur’an banyak sekali ditemukan ayat yang menjelaskan tentang poligami, salah satu diantaranya ialah Surat an-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَمَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَعْ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ اَدْنَى اَلَّاتَعُوْلُوْا.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dengan menyimak dari potongan ayat di atas maka dengan jelas bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Diperbolehkannya seseorang berpoligami itu karena mereka mampu memenuhi syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan dari seorang suami kepada istrinya sudah terpenuhi. Keadilan yang dimaksud ialah diantaranya adil dan seimbang dalam memberi nafkah baik lahir maupun batin, tempat tinggal, gilir malam, dan menjamin semua kebutuhan yang diperlukan oleh istri-istrinya.
Didalam poligami hal yang menjadi suatu kewajiban bagi seorang suami sebenarnya hanya terletak pada rasa keadilan dalam membagi cinta dan kasih sayang. Hal ini kelihatan mudah namun kenyataannya sangat sulit di terapkan dan sulit terpenuhi sebagaimana yang di isyaratkan dalam surat an-Nisa’ ayat 129:
وَلَنْ تَسْتَتِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَإِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًارَّحِيْمَا
Dan kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderungg (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka seseungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dalam mengartikan keadilan dikalangan umat Islam pun muncul sejumlah pandangan yang berbeda. Beberapa ulama ada yang mengatakan keadilan itu adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya. Dalam konteks seperti ini mereka memahami seorang istri muda atau istri tua, disikapi seimbang sesuai dengan proporsinya. tentunya timbul pertanyaan sejauh manakah batasan keseimbangan tersebut? Apakah seimbang itu bermakna dalam hal nafkah lahir dan batin diberikan secara sama antara istri tua dan istri muda. Terlepas dari pertanyaan itu, kita tampaknya sepakat bahwa substansi persoalannya lebih pada eksistensi PP No.10 yang bertentangan dengan syariat Islam dan fakta menunjukkan tidak adanya jaminan pemberlakuan PP tersebut bisa mencegah laki-laki kawin lagi.[5]
Di Indonesia sangat kesulitan untuk menutup atau melarang seseorang untuk berpoligami, yang bisa dilakukan hanyalah mengatur bagaimana cara dan teknis pelaksanaan poligami yang bertujuan untuk menjadikan poligami hanya bisa dilaksanakan pada waktu dan kondisi yang benar-benar diperlukan, tidak merugikan kedua belah pihak serta menjaga kewenangan istri dan anak-anaknya.
Dalam KHI mengatur poligami pada pasal 55, yaitu:[6]
1.      Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2.      Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anakanya.
3.      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.
D.  Syarat-syarat dan Prosedur Poligami
Didalam proses poligami ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, syarat-syarat (komulatif) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) pasal 5 berikut ini:[7]
1.    Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat berikut ini:
a.    Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperuan hidup istri-istri dan anak-anak.
c.    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
2.    Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlakukan bagi seorang suami yang apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihakdalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Sedangkan dalam pasal 4 UUP disebutkan:[8]
“Suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberikan izin apabila :
1.    Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan.”
Didalam poligami di atur bagaimana cara dan prosedur pelaksanaannya sebagaimana yang sudah di atur dalam PP No.9 Tahun 1997 pasal 40, disebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaksud beristri lebih dari seorang ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[9] Kemudian setelah mendapatkan izin poligami sesuai dengan PP N0.9 Tahun 1975 pasal 41, pengadilan kemudian memeriksa :
a.    Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu keadaan yang sesuai dengan UUP pasal 4 ayat (2).
b.    Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan  lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
c.    Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
i.      Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii.    Surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii.  Surat keterangan lain yang dapa diterima oleh pengadilan.
d.   Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang dibuat untuk itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, izin Pengadilan Agama menjadi sangat menetukan, bahkan dalam KHI pasal 59 juga dinyatakan besarnya wewenang pengadilan dalam memberikan izin. Sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.[10]

















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa poligami merupakan salah satu perkawinan yang dilakukan dengan cara beristri lebih dari satu orang. Poligami juga memiliki landasan hukum yang kuat baik dari Al-Qur’an dan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri. Jadi seseorang boleh melakukan poligami bilamana sudah memenuhi syarat dan melakukan serta mematuhi peraturan yang berlaku di dalam poligami tersebut.
Poligami bukan suatu hal yang menjadi rahasia umum lagi, melainkan poligami sudah banyak dilakukan sejak zaman sebelum datangnya Islam sampai masa sekarang setelah adanya ajaran Islam. Tetapi poligami di masa yang lalu dengan masa setelah datangnya Islam memiliki perbedaan cara dan hukum yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya jumlah istri dan tata cara melaksanakannya.
Keadilan merupakan salah satu hal yang menjadi pondasi utama dalam melakukan poligami ini, hal ini bertujuan supaya pelaku poligami tidak menghilangkan hak-hak dan kewajiban yang seharusnya bisa diperoleh oleh istri-istri dan anak-anaknya bahkan dirinya sendiri. Maka dari itu kunci poligami berada dalam cakupan keadilan itu sendiri.






DAFTAR PUSTAKA
Ali Engineer Asghar. Pembebasan Perempuan. Agus Noryanto (terj). Yogyakarta. PT. LKiS Pelangi Aksara. 2003.
Budi Utomo Setiawan. Fiqih Aktual. Jakarta. Gema Insani Press.2003
Marzuq M. Ilham. Poligami Selebritis. Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka.2009
Musawwamah Siti. Hukum Perkawinan 1. Pamekasan. STAIN Pamekasan Pers. 2009
Zuhaili Wahhab. Fiqih Imam Syafi’i. Beirut. Darul Fikr. 2008





[1] Siti Musawwamah. Hukum Perkawinan 1. (Pamekasan. STAIN Pamekasan Pers.2009). Hlm: 113
[2] Asghar Ali Engineer. Pembebasan Perempuan. Agus Noryanto (terj).(Yogyakarta. PT LKiS Pelangi Aksara. 2003). Hlm:111
[3] Wahhab Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i. (Beirut. Darul Fikr. 2008). Hlm: 476
[4] M. Ilham Marzuq. Poligami Selebritis. (Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka. 2009)
[5] Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual. (Jakarta. Gema Insani Press.  2003). Hlm: 271
[6] Ibid. Hlm: 114
[7] Ibid. Hlm: 117
[8] Ibid. Poligami Selebritis
[9] Ibid. Hlm: 117
[10] Ibid. Hlm: 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar