BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ikatan
hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan. Perkawinan biasanya dimulai
dan diresmikan dengan upacara pernikahan yang di jalani dengan maksud untuk
membentuk suatu keluarga. Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak
ditengah umat. Akibatnya berbagai macam kerancuan dalam pemikiran antipoligami
pun menjadi konsumsi harian oleh para istri. Karena itu tak sedikit para istri
yang dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosinya.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi
solusi, para suami digugat dan dihujat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar
nama baiknya bahkan terpental dari kedudukannya. Seakan-akan telah melakukan
dosa besar yang tidak bisa di ampuni lagi.
Dalam makalah ini kami mencoba mengupas
apa itu poligami dan apa manfaatnya bagi manusia, karena kita sebagai umat
islam harus yakin semua yang diciptakan Allah itu tidak ada yang sia-sia. Baik
berupa benda-benda yang diciptakan ataupun aturan-aturan yang dibuatnya yang
tujuannya tidak lain untuk kepentingan manusia dalam keseimbangan bermasyarakat
dan alam.
B. Rumusan
Masalah
Adapaun permasalah yang akan dibahas
dalam makala ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana
sejarah poligami?
2. Apa
pengertian dari poligami?
3. Apa
yang menjadi dasar dan landasan hukum poligami?
4. Bagaimana
tata cara dan prosedur melakukan poligami?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Poligami
Poligami sebenarnya sudah meluas sebelum
kedatangan agama Islam. Banyak bangsa-bangsa yang sudah menerapkan poligami diantaranya
bangsa Ibrani, Arab Jahiliah, dan Cisilia. Dari beberapa bangsa ini kemudian
memengaruhi negara-negara Rusia, Lithuania, Estonia, Polandia, Cekoslowakia,
dan Yugoslavia.
Jadi, tidak benar jika dikatakan bahwa
Islamlah yang mula-mula membawa sistem pologami. Sebenarnya hingga sekarang sistem
poligami ini masih tetap tersebar di beberapa bangsa yang tidak beragama Islam.
Seperti orang-orang Afrika, Hindu India, Cina dn Jepang. Juga tidak benar jika
dikatakan bahwa sisitem ini hanya berlaku dikalangan bangsa-bangsa yang
beragama Islam. Sebenarnya agama Kristen tidak melarang poligami seab didalam
Injil tidak ada satu ayatpun yang secara tegas melarang hal ini.
Perlu kita ingat bersama bahwa monogami
merupakan sistem yang umum yang dilakun oleh bangsa-bangsa yang primitif.
Berbanding berbalik dengan bangsa-bangsa yang sudah mengalami perubahan,
monogami tidak lagi menonjol. Bangsa ini telah meninggalkan cara hidup yang
primitif, sistem poligami pasti akan meluas dan bangsa-bangsa di dunia ini
banyak melakukan apabila kebudayaan mereka bertambah tinggi. Jadi, anggapan
yang mengatakan bahwa poligami berkaitan dengan keterbelakangan kebudayaan.
Meluasnya sistem poligami seiring dengan kemajuan kebudayaan manusia.
B. Pengertian
Poligami
Poligami merupakan terjemahan dari kata ta’addut
al zawjat yaitu suatu kebolehan suami untuk beristri lebih dari seorang
dalam waktu bersamaan.[1]
Poligami sebenarnya sudah ada sejak zaman sebelum Nabi Muhammad, bedanya pada
zaman Rasulullah, seorang suami bebas untuk menikah dengan berapapun banyaknya
istri. Namun, pada zaman Rasulullah sudah mulai ada batasan dari Allah untuk
berpoligami hanya dengan maksimal empat istri saja. Banyak negara-negara besar
seperti India dan negara-negara Islam dan non Islam menolak dan menentang
poligami. Karena mereka mendukung hak-hak perempuan. Poligami mulai di tentang
hanya pada era modern saja, hal ini disebabkan karena adanya revolusi industri
yang membawa kepedulian terhadap kalangan perempuan akan hak-hak mereka yang
mulai menuntut kesetaraan status perempuan dengan laki-laki.
Poligami memang sudah dipraktekkan
secara luas di masyarakat pra Islam, tidak ada batasan jumlah istri yang dapat
dimiliki oleh kaum pria. Para ahli tafsir Al-qur’an klasik telah merekam
kasus-kasus dari sebagian besar orang Arab yang memiliki istri hingga sepuluh.
Seperti dimasyarakat yang lain, di masyarakat Arab juga tidak ada sama sekali
gagasan tentang keadilan terhadap istri-istri mereka. Para suamilah yang
memutuskan siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki
secara tidak terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada jalan
lain untuk proses keadilan.[2]
Dengan bukti tersebut menyatakan bahwa
poligami sudah ada sejak dulu namun berbeda-beda cara dan pelaksanaannya. Namun
memiliki inti kesamaan pada perkawinan kepada istri yang lebih dari satu.
Asy-syarbini al-Khathib menuturkan,
“seorang pria sunah tidak menikahi lebih dari satu istri tanpa hajat yang
jelas. Dengan jelas an-nash telah menunjukkan bahwa asas pernikahan
adalah monogami, bukan poligami.” Ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama’
yang menyatakan bahwa asas pernikahan adalah poligami, artinya poligami itu
sunah.[3]
Sebelum kedatangan Islam perkawinan
dengan lebih dari seorang istri tidak ada hukumnya, tidak dibatasi jumlahnya
dan tidak ada persyaratan apapun. Seorang lelaki memiliki kehendak tersendiri
untuk menikah dengan berapa saja banyaknya. Kemudian setelah datangnya Islam perkawinan
dengan istri lebih dari empat orang tidak dibolehkan. Hal ini menjadi penegas
dalam Islam bahwasanya pernikahan dalam Islam memiliki batasan istri yakni
maksimal hanya empat istri saja. Hal ini juga tidak terlepas dari beberapa
syarat yang harus diindahkan dan dipenuhi untuk berpoligami.
Apabila Allah telah menetapkan suatu
ketentuan terhadap umat manusia, maka Allah tentunya sudah mendesain semua hal
yang terkait untuk mendukung hal tersebut. Pemberian hak terhadap kaum
laki-laki untuk berpoligami tentunya didukung oleh desain laki-laki yang mampu
menerima wanita lebih dari satu dan memberi kepada lebih dari satu wanita.
Ketetapan Allah terhadap wanita yang hanya boleh memiliki satu suami dalam
waktu yang sama, juga pasti di dukung oleh desain wanita yang memang hanya
sanggup menerima dan member pada satu laki-laki saja.[4] Al-qur’an
menyampaikan bahwa kita harus berprasangka baik kepada Allah, termasuk kepada
apapun yang Dia putuskan.
C. Dasar
dan Hukum Poligami
Di
dalam Alqur’an banyak sekali ditemukan ayat yang menjelaskan tentang poligami,
salah satu diantaranya ialah Surat an-Nisa’ ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا
فِى الْيَتَمَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَعْ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلَّاتَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْمَا مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ اَدْنَى اَلَّاتَعُوْلُوْا.
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja. Atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dengan menyimak dari potongan ayat di
atas maka dengan jelas bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami.
Diperbolehkannya seseorang berpoligami itu karena mereka mampu memenuhi
syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan dari seorang suami kepada istrinya
sudah terpenuhi. Keadilan yang dimaksud ialah diantaranya adil dan seimbang
dalam memberi nafkah baik lahir maupun batin, tempat tinggal, gilir malam, dan
menjamin semua kebutuhan yang diperlukan oleh istri-istrinya.
Didalam poligami hal yang menjadi suatu
kewajiban bagi seorang suami sebenarnya hanya terletak pada rasa keadilan dalam
membagi cinta dan kasih sayang. Hal ini kelihatan mudah namun kenyataannya
sangat sulit di terapkan dan sulit terpenuhi sebagaimana yang di isyaratkan
dalam surat an-Nisa’ ayat 129:
وَلَنْ
تَسْتَتِيْعُوْا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَإِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوْا
وَتَتَّقُوْا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًارَّحِيْمَا
Dan
kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu, walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderungg (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka seseungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
Dalam mengartikan keadilan dikalangan
umat Islam pun muncul sejumlah pandangan yang berbeda. Beberapa ulama ada yang
mengatakan keadilan itu adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya.
Dalam konteks seperti ini mereka memahami seorang istri muda atau istri tua,
disikapi seimbang sesuai dengan proporsinya. tentunya timbul pertanyaan sejauh
manakah batasan keseimbangan tersebut? Apakah seimbang itu bermakna dalam hal
nafkah lahir dan batin diberikan secara sama antara istri tua dan istri muda.
Terlepas dari pertanyaan itu, kita tampaknya sepakat bahwa substansi
persoalannya lebih pada eksistensi PP No.10 yang bertentangan dengan syariat
Islam dan fakta menunjukkan tidak adanya jaminan pemberlakuan PP tersebut bisa
mencegah laki-laki kawin lagi.[5]
Di Indonesia sangat kesulitan untuk
menutup atau melarang seseorang untuk berpoligami, yang bisa dilakukan hanyalah
mengatur bagaimana cara dan teknis pelaksanaan poligami yang bertujuan untuk
menjadikan poligami hanya bisa dilaksanakan pada waktu dan kondisi yang
benar-benar diperlukan, tidak merugikan kedua belah pihak serta menjaga
kewenangan istri dan anak-anaknya.
Dalam KHI mengatur poligami pada pasal
55, yaitu:[6]
1. Beristri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
2. Syarat
utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri dan anak-anakanya.
3. Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristri lebih dari satu orang.
D. Syarat-syarat
dan Prosedur Poligami
Didalam proses poligami ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, syarat-syarat (komulatif) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan (UUP) pasal 5 berikut ini:[7]
1. Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Adanya
persetujuan dari istri/istri-istri
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperuan hidup istri-istri dan
anak-anak.
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
2. Persetujuan
yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlakukan bagi seorang
suami yang apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihakdalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Sedangkan dalam pasal 4 UUP disebutkan:[8]
“Suami
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan
pengadilan memberikan izin apabila :
1. Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.”
Didalam poligami di atur bagaimana cara
dan prosedur pelaksanaannya sebagaimana yang sudah di atur dalam PP No.9 Tahun
1997 pasal 40, disebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaksud beristri lebih
dari seorang ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[9]
Kemudian setelah mendapatkan izin poligami sesuai dengan PP N0.9 Tahun 1975
pasal 41, pengadilan kemudian memeriksa :
a. Ada
atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu keadaan
yang sesuai dengan UUP pasal 4 ayat (2).
b. Ada
atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan
itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan.
c. Ada
atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan :
i. Surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja; atau
ii. Surat
keterangan pajak penghasilan; atau
iii. Surat
keterangan lain yang dapa diterima oleh pengadilan.
d. Ada
atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang dibuat untuk itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, izin
Pengadilan Agama menjadi sangat menetukan, bahkan dalam KHI pasal 59 juga
dinyatakan besarnya wewenang pengadilan dalam memberikan izin. Sehingga bagi
istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami,
persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang sudah dipaparkan di
atas dapat disimpulkan bahwa poligami merupakan salah satu perkawinan yang
dilakukan dengan cara beristri lebih dari satu orang. Poligami juga memiliki
landasan hukum yang kuat baik dari Al-Qur’an dan Undang-Undang Perkawinan itu
sendiri. Jadi seseorang boleh melakukan poligami bilamana sudah memenuhi syarat
dan melakukan serta mematuhi peraturan yang berlaku di dalam poligami tersebut.
Poligami bukan suatu hal yang menjadi
rahasia umum lagi, melainkan poligami sudah banyak dilakukan sejak zaman
sebelum datangnya Islam sampai masa sekarang setelah adanya ajaran Islam.
Tetapi poligami di masa yang lalu dengan masa setelah datangnya Islam memiliki
perbedaan cara dan hukum yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini bisa dilihat
dari banyaknya jumlah istri dan tata cara melaksanakannya.
Keadilan merupakan salah satu hal yang
menjadi pondasi utama dalam melakukan poligami ini, hal ini bertujuan supaya
pelaku poligami tidak menghilangkan hak-hak dan kewajiban yang seharusnya bisa
diperoleh oleh istri-istri dan anak-anaknya bahkan dirinya sendiri. Maka dari
itu kunci poligami berada dalam cakupan keadilan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Engineer Asghar. Pembebasan
Perempuan. Agus Noryanto (terj). Yogyakarta. PT. LKiS Pelangi Aksara. 2003.
Budi Utomo Setiawan. Fiqih
Aktual. Jakarta. Gema Insani Press.2003
Marzuq M. Ilham. Poligami
Selebritis. Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka.2009
Musawwamah Siti. Hukum
Perkawinan 1. Pamekasan. STAIN Pamekasan Pers. 2009
Zuhaili Wahhab. Fiqih
Imam Syafi’i. Beirut. Darul Fikr. 2008
[1]
Siti Musawwamah. Hukum Perkawinan 1. (Pamekasan. STAIN Pamekasan Pers.2009).
Hlm: 113
[2]
Asghar Ali Engineer. Pembebasan Perempuan. Agus Noryanto (terj).(Yogyakarta.
PT LKiS Pelangi Aksara. 2003). Hlm:111
[3]
Wahhab Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i. (Beirut. Darul Fikr. 2008). Hlm: 476
[4] M.
Ilham Marzuq. Poligami Selebritis. (Sidoarjo. Masmedia Buana Pustaka.
2009)
[5]
Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual. (Jakarta. Gema Insani Press. 2003). Hlm: 271
[6]
Ibid. Hlm: 114
[7] Ibid.
Hlm: 117
[8]
Ibid. Poligami Selebritis
[9]
Ibid. Hlm: 117
[10]
Ibid. Hlm: 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar